Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Tengah

Kamis, 11 Oktober 2007

Yudhi MS



(Kudus)

Lahir pada 17 Juni 1954. Selain menulis sajak, penyair yang pernah mengasuh acara Ladang Sastra di Radio Muria Kudus pada 1983-2000 juga menulis cerpen, artikel, dan geguritan (puisi Jawa). Karyanya dimuat di berbagai media massa antara lain Sinar Harapan,Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, Bernas, Wawasan, Kumandang, Panjebar Semangat, Senang, Midi, Anita Cemerlang. Sebagai pengurus Dewan Kesenian Kudus sejak 2004. Tahun 1991 bersama Mukti Sutarman Espe, M.M. Bhoernomo, dan penulis lainnya mendirikan komunitas Keluarga Penulis Kudus (KPK), sebagai ketua periode pertama (1991-1994). Kumpulan sajaknya Matabunga (1999), Selain itu, antologi Menara (1993), Antologi Puisi Jawa Tengah (1994), Progo (1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), Lawang Sewoe (1996), Angin Ladang (1996), Menara 2 (1997), Zamrud Khatulistiwa (1998), Jentera Terkasa (1998), Pabrik (1998), Menara 3 (1999), Masih Ada Menara (2004), Mahaduka Aceh (2005). Salah satu puisinya :

Debu-asap Di Kurusetra
(1)
debu belum benar sirna
kepul aspal masih bersisa
dan udara kehilangan warna

dan engkau kehilangan sesuatu yang paling berharga
dan engkau kehilangan sesuatu yang paling bermakna
Duryudana,
pada air telaga kau berendam, dapatkah gerah teredam?
andai badai menerjang, yakinkah reranting kering
kuat bertahan?
apa lagikah yang akan kauraih-pegang?
helaan nafas itu, sesal ataukah sengal, mempertegas
kebimbangan yang mengekal, sejak prosesi penobatan itu,
dalam urat darahmu
o, rambut harus dibelah-belah untuk memisahkan tekad
dan takut
o, kilat harus dipatah-patah untuk membedakan kalem
dan kalut
pada bau angit meniti langit kaulepas zirah prajurit
pada amis darah mengaliri lembah kaulempar jiwa ksatria
pada angin mati dicekik sepi kautitipkan mahkota kekerdilan
; untuk yang pertama, untuk yang pertama, kau merasa
betapa pahit mengulum buah kesia-siaan
bagi arwah para leluhur, guru, dan kerabat, yang matanya
berkaca-kaca, “terlalu jauh hasrat kembara,” airmata pun
sanggup kaubendung
bagi arwah saudara, perwira, dan balatentara, yang matanya
bertanya-tanya, “masih kurang banyakkah tombak bicara?”
ngeri pun kautelikung
bagi arwah rakyat jelata yang pada setiap peperangan selalu jadi
korban, yang matanya pudar cahaya, “terlalu nyeri jiwa yang
luka,” tak membuatmu limbung
; tapi tak mungkin kauingkari kali ini – baru kali ini, bukan? –
ketika bersendiri, seperti ketika bulan diremuk awan,
betapa teramat sepi tertikam sebuah kekalahan
lantas, kepada siapa telunjukmu menuding ketika burung-burung
nazar melintas-lintas di atas Kurusetra yang garing
seakan musim dipergegas menjemput dedaun ranggas,
mewartakan para janda dan anak-anaknya berpelukan
memerah airmata berkepanjangan?
selalu kuberi ingat dalam lembut bisikan
akan luas akibat ketamakan kekuasaan
tapi selalu kautentang
tapi selalu kautendang

(2)
kaularung segala tumpahan batin
pada sungai kenangan yang mengalir ke pantai dendam
memuara pada laut kelam – atau benderang, tapi taklagi berani
kausebutkan – yang membawamu kembali ke masa silam,
masa silam saat bulan bercadar dan bintang tak beredar
dan – seperti yang pernah dikabarkan – serigala-serigala
melolong-lolong, suaranya menggentarkan semua tingkap
pun pilar puri remang Hastinapura
dan suara itu kini memerihparahkan rongga dadamu
menopang kelopak matamu, memampangkan saat-saat Bunda
Gendari dengan gemas menendang segumpal darah-daging
yang lahir dari rahim sendiri. berkeping-keping.
ditangisi rerumput taman sari,
menjelma seratus bayi
seratus bayi Kurawa, diperam dalam panggang kedengkian
dan dijunjung pada panggung kecemburuan oleh tangan
Patih Sengkuni. pamanmu itu tak menuntun kalian
menyusuri lembah keprihatian, lembah istirah bagi jiwa
berserah, atau memandang dengan mata batin
pada akar merambah dalam tanah dan pada ranting
mencakar ke udara
sedang Bunda Gendari menyembunyikan air susunya
menenggelamkan jiwa dalam samudera kekecewaan,
menjerang sukma pada bara kebencian. secabik selendang
menutup penglihatan mendampingi suami sang Dhestarastra,
ayahandamu yang cacat netra
tak ingin kurang dari yang diingin
bergelimang emas cemerlang engkau dan adik-adikmu
alpa mengeja bintang-bintang yang bersembunyi di hari siang
tapi pedih membayangbuntuti, ada satu hal tak terpenuhi
dan gagal kaucari

(3)
ku dengar juga suara itu
bisikan yang sangat kukenal dan sering kusangkal
datang dari negeri jauh, menjelma jarum-jarum meluruh
begitu kubenci karena selalu melukai wajahku sendiri
wajah berlumur lumpur yang selalu kucari
di medan tempur
betapa menjadi suram wajah ini
manakala melati menyebar aroma suci melenakan Pandawa
dalam rengkuhan cinta jemari Bibi Kunti
dan warna tembaga pun membarakan angsoka menyimpulkan
senyum kepada Arjuna serta saudara-saudaranya
ketika lulus pendadaran, diiring kata-kata berbunga
dirangkaikan Bapa Guru Drona
dan semilir angin menarikan daun-daun nagasari
menyongsong Bima dan saudara-saudaranya yang masih bisa
lolos dari perangkap api yang menghanguskan Balai Sigalagala
dan seroja-seroja memamerkan kelopak-kelopaknya
menghiasi telaga menyambut Yudistira melaksanakan
Sesaji Raja Suya, aswamedayajna, dalam waktu
tak berapa lama setelah naik tahta
di Indraprasta
dan mengapa kembang gading mengirimkan harumnya
untuk kelapangan Nakula-Sadewa beserta
abang-abangnya yang dua belas tahun mendekam
di dalam rimba raya Kamiaka
dan mengapa pula kemuning bermekaran bersuka
atas keselamatan kelima anak Paman Pandu Dewanata
dalam penyamaran sebagai hamba di Wirata

(4)
kau lupa sungai Jamuna tak henti mengalirkan airnya
kau tak hirau lereng Kelasa masih menyinarkan semburat hijau
kau tak mau tahu puncak Himalaya senantiasa melelehkan salju
; maka mana mungkin semua akan menghilir, meneduh,
dan membekukan nafsu angkaramu?
burung-burung enggan mengucap salam
meski mahkota itu lebih cepat pada kepalamu dikenakan
dan renda-renda mimpimu terkoyak oleh cakar-cakir anjing
menyalak, anjing yang kaucipta dalam khayal busuk,
meski Pandawa tak pandai mengutuk
; bukankah selalu kautempelak
jika sekali waktu kauingatkan soal hak?
wahai, suaramukah itu
yang bisiknya merebakkan kebimbanganku dan memadamkan
lentera pada wajahku yang menyenja
wajah yang menjelaga turun ke dada
dan betapa dahsyat gemuruhnya
ya, betapa dahsyat nadi mendidih bergejolak gemuruh
dalam perang besar ini mereka berdiri angkuh, kukuh dan utuh
sementara tak lagi kusua Dursasana, Durmagati, Citraksa,
Citraksi, beserta adik-adik tercinta. Bapa Drona, Paman Patih,
Senapati Karna, Bapa Prabu Salya, dan Eyang Bisma semuanya
pralaya
dan hari-hari pun tinggal bayang manakala aku pun kehilangan
anak tungalku Lesmana, curahan
segala damba

(5)
korban berjatuhan dari semua pihak seakan biji asam berserak
di pingir-pinggir jalan. nyawa yang terlepas seakan uap
melayang tak berbekas. darah bersimbah seakan arak muncrat
bagi arwah para leluhur, guru, dan kerabat, yang matanya
berkaca-kaca, “terlalu jauh hasrat kembara,” airmata pun
sanggup kaubendung
bagi arwah saudara, perwira, dan balatentara, yang matanya
bertanya-tanya, “masih kurang banyakkah tombak bicara?”
ngeri pun kautelikung
bagi arwah rakyat jelata yang pada setiap peperangan selalu jadi
korban, yang matanya pudar cahaya, “terlalu nyeri jiwa yang
luka,” tak membuatmu limbung
; tapi tak mungkin kauingkari kali ini – baru kali ini, bukan? –
ketika bersendiri, seperti ketika bulan diremuk awan,
betapa teramat sepi tertikam sebuah kekalahan
lantas, kepada siapa telunjukmu menuding ketika burung-burung
nazar melintas-lintas di atas Kurusetra yang garing
seakan musim dipergegas menjemput dedaun ranggas,
mewartakan para janda dan anak-anaknya berpelukan
memerah airmata berkepanjangan?
selalu kuberi ingat dalam lembut bisikan
akan luas akibat ketamakan kekuasaan
tapi selalu kautentang
tapi selalu kautendang
dari piala yang pecah. bagimu hanya tumbal tak berarti,
beribu pembenaran kausodorkan demi pelampiasan
nafsu tak terkendali
Duryudana, belum cukupkah sudah?
masih akankah memburu angin, menggapai gugus mega,
berlomba dengan bayang-bayang?
segeralah bangkit, akhiri berendam pada air mengarus diam
lihatlah Pandawa diiring Sri Kresna telah menemukanmu,
datang untuk menutup kitab kelaliman-kekelaman
usaikan dengan gagah kepergian tak terimpikan
meski tanpa kidung dan kembang berluruhan
usah gemetar bila kau sadar betapa Prabu Dwaraka tahu
Sang Drona harus dilumpuhkan oleh Drestajumna,
Sang Dipayana harus dihadapi Srikandi; tentu iapun mafhum
akan sebuah kelemahan di paha kiri
biarkan debu segera sirna
kepul asap akan lenyap tak bersisa
dan kebiruan membentang di atas
cakrawala

Kudus, 2001

Thomas Budi Santoso


Thomas Budi Santoso

(Kudus)

Lahir di Pati, 19 Nopember 1944. Menulis puisi sejak tahun 60-an. Beberapa puisinya dimuat di antologi puisi Masih Ada Menara dan sajak Kudus, Koran Republika, Sinar harapan, Suara Pembaruan, wawasan, Suara merdeka dan Sinergi. Sebagai penasehat Dewan Kesenian Kudus dan Penasehat Keluarga Penulis Kudus. Kini tinggal di Kudus dan bekerja di PT Djarum sebagai Direktur Produksi. Salah satu puisinya :


Matahari Miring Di 5 April 2005
(mementomori: be tjien siong
via mutatur non tulitur
hidup itu diubah, bukan dilenyapkan)

ketika matahari miring di wajahnya
sekuntum flamboyant, jatuh
di wajahnya yang hilang dan
seekor kumbang, mengusapkan serbuk bunga
di keningnya yang biru
seolah bermimpi terdengar lembut sekali:
langkah-langkah yang ringan, gemericik senyum
kata-kata cinta, guratan neka suara yang
diterpa angin – jauh
bersamanya
jam yang telah ditetapkan
bumi yang dulu melahirkannya
menatih lingkaran sempurna
di akhir bayang-bayang yang
penuh bermuatan bunga
di atas matahari

Sosiawan Leak


Sosiawan Leak

(Solo)

Lahir di Solo, 23 September 1967. Mermpungkan studi di Fisip Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) tahun 1994. Menulis puisi sekjak 1987 dipublikasikan antara lain : di Surabaya Post, Solo Post, Suara Merdeka, Wawasan,Bernas dan Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Republika, Horison, Deutsce Welle (Radio Jerman), dan lain-lain. Lebih dari 20 antologi puisi yang diterbitkan berbagai forum sastra lokal maupun nasional memuat puisinya bersama penyair lain. Diantaranya Panorama Dunia Keranda (1991), Temu Penyair Jawa Tengah (1993), Pekan Seni Pemuda Surabaya (1993), Festivel Puisi Nasional XIV (Perhimpunan Persabahatan Indonesia Amerika, (1994)Sastra Kepulauan (1999), dan lain-lain. Pernah diundang di Festival Puisi International Indonesia yang diselenggarakan di Makasar, Solo, Bandung (2003) dan di Festival Puisi International Poetry on The Road Bremen Jerman. Merintis dan memotori penerbitan Antologo Puisi Kepodang (1993), Temu Penyair Jawa Tengah (1993), Pasar Puisi (1998), Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (1995). Mendirikan Forum Sastra Surakarta Sejak 2004 mulai belajar sinematografi dengan menjadi Astrada Sinetron Komedi Putar produksi TVRI Jakarta. Kini akti f memproduksi program tv (Surakarta Wayang Kampung, Gus Mus Menjawab) yang di tayangkan rutin di Stasiun Pro TV Semarang. Salah satu puisinya :

Pangeran Kecemasan

pesanggrahan hati yang ragu kujanjikan kepadamu
tak sebanding dengan kenangan indah masa lalumu
pesanggrahan tanpa bilik dan kamar
gelap dan pengap
tanpa jendela, pagar apalagi taman bunga
disumpegi computer dan printer tua
dijubeli buku-buku berdebu,
serakan kertas-kertas (puisi-puisi yang gagal menyempurna)
juga hasrat dari kesejatian cinta
yang kerap musna dilahap cicak, dijilati kacoa
usai menyelinapi dinding kamar
di antara ranjang berpasir,
bantal guling yang anyir
serta pakaian dalam yang dicampakkan isinya
sementara, lebih gampang bagimu
mengunjungi kenangan liar manismu
(bersama pangeran-pangeranmu)
lewat email, sms, catatan buku
photo-photo, lamunan, juga orgasmemu
saat kita senggama di ranjang, toilet, dapur, lantai, ruang tamu,
juga ruang makan,
dan halaman belakang di ujung malam
saat itu, selalu kau bisikkan rindu
di kuping kiriku yang pekak lantaran cemburu
lalu para pangeranmu yang dulu datang bergantian
kini berloncatan dari telinga kanan
menjelma serombongan nabi
yang menembangkan ayat-ayat suci
bagai butiran air mengkristal indah
di pantai (yang pernah kau singgahi)
saat udara pagi dialiri angin dan matahari
bersama senyuman pangeranmu !
mereka juga menyenandungkan doa-doa mesra
mekarkan hatimu, bagai kembang abadi di pegunungan
(yang lunas kau tamasyai)
mereka juga menyanyikan keindahan istana
yang urung kau kunjujngi
dan kini menjelma sesal abadi
menguntit matahatimu ke mana pergi
; juga saat persenggamaan kita
yang berkali-kali tak kunjung usai tak juga henti
untuk menepi sekedar mengusir sepi !
tapi tunggu !
ada seorang pangeranmu berparas ganteng
berperawakan ganjen
meski hatinya bengis, berwatak sadis
ia mampu menelusuri ke segala,
bahkan ke hampa tanpa kentara
menanam bom, menyebar peluru
memasak arsenit di perutmu
tapi tunggu !
di mataku ia tetap pangeranmu, di matahatimu
bagai masa lalumu yang dikawalnya selalu semaumu
pesanggrahan hati yang ragu kujanjikan padamu
tak sebanding dengan kenangan indah masa lalumu
pesanggrahan ringkih, gersang
dan gampang diterjang impian kehadiran para pangeran
yang masih saja kau bebaskan
berkeliaran
dimatahatimu !
mereka mengintip dari jutaan lubang; malih rupa kecemasan
mengincar waktu kedatangan
untuk menerobos dinding pesanggrahan
yang ringkih dan gersang !

5 mei 2005

Ryan Rachman

Ryan Rachman
(Purwokerto)
Lahir di Kebumen, 12 Januari 1985, Mahasiswa Sastra Inggris Program Sarjana Bahasa dan Sastra Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Saat ini aktif di Teater TEKSAS Prog. Sarjana Bahasa dan Sastra Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dipercaya menjadi ketua Forum Komunikasi Antar Teater se-Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan aktif mencoba menulis puisi dan cerpen yang baik. Puisi Drama Tiga Babak mendapat hadiah sebagai juara 2 Lomba Menulis Puisi Islam Forum Lingkar Pena Purwokerto tahun 2005. Naskah drama yang pernah di pentaskan berjudul Tikusku Sayang Tikusku Timang. Kumpulan puisinya tergabung dalam Kamar yang sama sekali belum pernah diterbitkan. Dalam antologi ini memuat puisinya :


Gusti (Sajak Seorang Pelacur)

Lillahi wastulil firdausi ahla
Walaa a’laa ngalal naaril jakhiimi
Kemabali, rasa dosa menghampiri
Membayang dalam setiap sela sela tubuh
Ketika seruan-Mu itu mendayu mengumandang
Memanggil manusia manusia untuk kembali menyapa-Mu
Gusti
Lihat hambamu
Di atas ranjang reot ini
Terlentang
Memungut nasib antara desahan dan air mata
Antara mimpi dan kenyataan
Gusti
Dari dalam kalbu yang luka meronta, bertanya
Apakah pantas aku kembali kepada-Mu?
Sedangkan Engkau tahu
Baru saja tubuhku dijilati oleh ular-ular
Baru saja darahku dibius oleh ciu
Gusti
Apakah pantas aku kembali pada-Mu
Sedangkan saat panggilan-Mu menggaung
Aku sedang melangkahkan kaki mencari mangsa
Mencari ular ular yang disakunya bertumpuk berjuta lembaran emas
Dan ketika panggilan-Mu kembali menggaung
Tubuhku masih terbungkus letih dan titik titik najis ular itu
Gusti
Apakah pantas aku kembali pada-Mu?
Sedangkan aku dan empat orang anakku harus makan
Gusti
Tubuhku adalah nista
Tubuhku adalah dosa
Dan aku masih harus menanggung segala hinaan dan cemoohan
Aku masih harus tersingkir dari dunia siang
Gusti
Gusti
Gusti
Apakah pantas aku kembali pada-Mu ya Gusti?
Aduh Gusti kulo, sanes ahli suwargo
Nanging mboten kiat manggen ing neroko

NF.Muhaiminati


NF. Muhaiminati

(Kebumen)

Di panggil Emi, lahir hari Minggu Pahing, tanggal 3 Oktober 1982 di Wisma Rukti Kebumen. Puisinya belum banyak tapi ada yang sudah dimuat di Jurnal Perempuan, Kreativa, antologi bersama Memoar Perjalanan (2004), dan Dian Satro for Presiden #3 (2005). Salah satu puisinya menjadi nominator Cisadane Award 2005. Sekarang masih menjadi mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNY yang sedang mengerjakan tugas akhir. Salah satu puisinya:


Perempuan Indonesia

Hai perempuan Indonesia
yang megalami masa DOM di ujung nusantara
yang berpakaian adat koteka
yang menjadi pejabat Negara
yang nyuciin baju tetangga
yang sehat sentausa bahagia sejahtera
yang kena rematik atau kanker payudara
yang berpredikat janda
yang lagi dapat haid pertama
yang ikut anggota PKK
yang otomatis masuk dharma wanita
yang hapal resep masakan tradisional dan mancanegara
yang bikin cake selalu bantat hasilnya
yang gonta-ganti lipstik dan maskara
yang koleksi brosur kosmetika
yang mempercayakan penampilannya pada perancang busana
yang sama sekali tak punya beha
yang suka telenovela, film laga, atau India
yang pernah bekerja di Korea, Saudi Arabia, atau Malaysia
yang kering, normal, atau berminyak jenis kulitnya
yang punya tahi lalat di muka atau selulit di paha
yang dijodohkan oleh orang tua
yang menikah lantaran diperkosa
yang memuja pria
yang mencintai wanita,
kita harus berjabat tangan : apa kabar

Jogjakarta, April 2005

Gunawan Triatmojo


Gunawan Triatmodjo

( Solo)

Lahir di Solo pada 1 Mei 1982. Mahasiswa akhir Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Puisi dan cerpennya dipublikasikan di berbagai media massa baik lokal maupun nasional. Memenangkan beberapa kali lomba penulisan sastra diantaranya Pemenang II Pena Islami 2004, Pemenang II Bulan Bahasa FKIP UNS 2004 dan cerpen Terbaik Majalah Horison 2004 untuk cerpen berjudul Gerimis Bermata Batu. Karya-karyanya juga tergabung dalam sejumlah antologi sastra seperti Kisah Cinta Plastik (2004), Dian Sastro for President: End of Trilogy (2004), Risalah yang Dikalahkan (2005), dan Soliloqui Sketsa Nurani (2005), Antologi Penyair Jawa Tengah (2005). Kumpulan puisinya bersama Agus Bakar berjudul Agitasi Menjelang Diam (Taman Budaya Jawa Tengah, 2005). Pada akhir November 2005 menghadiri Kongres Cerpen Nasional IV di Pekanbaru Riau. Salah satu puisinya :

Sakramen Perempuan Suci

yang tersisa dari cahaya-cahaya sunyi lorong mata
hanya tangis bayi
ketika ibu kehabisan air mata
setelah seorang lelaki mencuri selaput dara dari vaginanya
maka di ranjang pendosa itulah
pertama kali kau mengenal darah
wahai perempuan suci bermata buta
dengan nanah dan onak duri
kau tulis rajah dari kitab suci
tentang firman-firman yang di ingkari
perihal dosa-dosa yang urung diampuni
siapa yang pergi hari ini
siapa yang bertahan nanti
perjanjian telah disuratkan
berikut perjumpaan dan kesaksian
pada malam pemberkatan ini
aku menunggumu wahai perempuan suci
dengan mata basah lelaki kalah
yang kau pahami sebagai berkah di malam paskah
di altar suci
akan kuserahkan padamu
ayat-ayat yang kucuri dari ibumu dulu

Solo, 2005

Hero Sugiarso



Heru Sugiarso

(Semarang)

Lahir di Purwodadi Grobogan 2 Juni 1961. Pendidikan terakhir adalah jenjang S2 pada Program Pascasarjana IKIP Malang. Menulis karya sastra sejak 1975. Puisi, esai dan cerpennya dimuat antara lain: Majalah sastra Horison, Zaman, Harian Republika, Suara Karya, Suara Merdeka, Wawasan, Solopos, Jurnal sastra KUSAS dll. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi : Asmaradahana (swadaya, 1979); Airmataku Darah (Swadaya, 2001), Narasi 34 Jam (KSI, 2001), Perjalanan Ziarah (KSI, 2003), Indonesia, Di mana Alamatmu ? (Kumandang Sastra, 2004), Perjalanan Puisi, Perjalanan Sunyi (2005, Manuskrip) dan Peta kepenyairan 18 Penyair Jawa Tengah : Proses Kreatif dan Karya (2005). Membacakan karya puisi di beberapa kota antara lain : Semarang, Solo, Tanggerang. Prestasi yang dicapai meraih Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Award 2003, setelah buku puisinya Perjalanan Ziarah memenangkan lomba buku puisi tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Komunitas Sastra Indonesia. Sehari-hari bekerja sebagai dosen pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang. Salah satu puisinya :


Puisi di Titik Nol

Saat engkau kibaskan pendulum dari raut langit yang muram
Penantian gerimis seperti lagu ngelangut
Musim menggenang pada bau bacin selokan
Gemetar hatimu menulis puisipuisi keruh
Lalu kuraba kenangan pada wajahmu
Kusaksikan udara yang gemetar
Rahasia diamdiam mengendapendap
Meminta mulut mengucapkan
Dan kalam demi kalampun ditembakkan
Dari ujung laras senapan
Membidik mata waktu yang mulai rabun
Mengoyak kesunyian yang ngungun
Di titik nol
Kembali kurayakan puisi
Kutanam jasadku pada kubur meditasi
Kulipat percakapan ranting dan daun
Tentang rasa kehilangan
Karena puisi telah lama mengigau
Dalam sihir dan pukau

2005

Mas Yayun


Mas Yayun

(Sukabumi)


Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 26 Januari 1973. Mulai menulis puisi dan cerpen sejak tahun 1995. cerpennya yang berjudul Urip Pergi Lagi meraih juara 3 lomba menulis cerpen islami majalah Ummi(LMCPI UMMI I) tahun 2000. Cerpennya juga dimuat di Annida. Sementara puisi – puisinya dibukukan dalam Antologi Puisi Indonesia 1997 (KSI,1997),Jakarta Dalam Puisi Mutakhir (2000). Salah satupuisinya masuk nominasi dalam lomba menulis puisi Cipasera 2005 yang diadakan oleh Dewan Kesenian Cipasera. Salah satu puisinya :


Doa Ikan-ikan

kuselam lautan firman
kutadabburi kalam
kalian yang membentur karang
terdampar di pulau gersang
kuajari membaca bintang
kutunjukan kiblat
arah bersujud yang nikmat
makrifat yang likat
lalu aku mendengar
ikan-ikan berdoa
panjang menggeremang
disebutkah namaku dalam doa mereka ?

Sukabumi, 14 Januari 2005

Jumari HS


Jumari HS

(Kudus)

Lahir di Kudus. 24 November 1965. Karya-karyanya puisi, cerpen atau artikel sastra banyak menghiasi di berbagai media massa daerah maupun pusat. Diantaranya Republika, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Solo Pos, Lampung Post, The Djakarta Post, Swadesi, Jawa Pos, Wawasan, Bahari, Sumatra exspres, Ummi, Anninda, Sabili, Darma, Agenda, Minggu Pagi KR, Yogyakarta Pos, Kartika, dll. Dan puisinya juga ikut terlibat diberbagai antologi diantaranya: Antologi Puisi Indonesia API, Jentera Terkasa, Zamrud Khatulistiwa, Serayu, Maha Duka Aceh, Koda SBY, Pabrik, Sajak Kudus, Menara 1 samapi 3, Refleksi setengah abad Indonesia, Kicau Kepaodang 3, Sang Parasu, Seperti Angin, Masih ada Menara, dll. Penyair ini lebih dikenal sebagai penyair Buruh. Karena selama 21 tahun memburuh disalah satu perusahaan rokok terbesar di Kudus. Aktifitas seninya. Pernah menjabat ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Kudus sampai sekarang. Ketua bidang keilmuan yayasan sosrokartono. Salah satu puisinya :


Episode Anak Zaman

Seperti malam ditinggal sepi
Anak-anak itu, tak lagi bisa tidur
Mereka bermain kabut, di tangannya
Memegang pisau ditusuk-tusukan ke udara
Sampai gerimis dari langit ketentraman
Teriris, dan merintih-rintih kesakitan
Anak-anak itu, terus menusuk-nusukan pisau ke udara
Sampai hati ibu mengelabu
Anak-anak itu semakin liar
Menusuk-nusuk pisau ke udara
Tak perduli hujan debu menderas
Tak perduli mendung menggelantung
Tak perduli peta hidup berkaburan
Anak-anak itu, tak lagi mengenal sunyi
Airmatanya yang polos telah tumbuh benalu
Menghisap jiwanya sendiri
Aneh, mereka tak pernah mengaduh
Melainkan semakin deras tusukannya ke udara
Tak perduli angin resah
Tak perduli puisi berdarah
Anak-anak itu
Anak-anak kita
Airmatanya, airmata kita
Bahasanya, bahasa kita
Nyanyiannya, nyanyian kita
Anak-anak itu
Kita!

Kudus, 2005

Eko Sugiarto


Eko Sugiarto

(Semarang)

Lahir di Gunung Balak, Lampung Tengah, 23 September 1980 Menyelesaikan sarjana Sastra Indonesia pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada Jogyakarta.Tulisannya berupa opini, cerpen, maupun puisi pernah dimuat dibeberapa media masa dan situs internet. Pernah menjadi tentor di sebuah bimbingan belajar di Jogyakarta, namun tak bertahan lama karena harus beralih profisi sebagai editor buku pelajaran di Penerbit Intan Pariwara,Klaten, Jawa Tengah di Divisi Bahasa Indonesia. Prestasi dibeberapa lomba penulisan yang pernah diikuti di antaranya : Terbaik kelima lomba menulis surat budaya Sri Sultan Hamengku X UNSTRAT Universitas Negeri Jogyakarta (2003), pemenang harapan I lomba karya tulis milad II Sinology Center Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (2004), pemenang kedua sayembara penulisan cerpen Lampung Post (2004). Meskipun merasa lebih nyaman tinggal di Jogyakarta, tuntutan pekerjaan sebagai penyelaras bahasa di sebuah surat kabar di Jawa Tengah membuatnya lebih sering menghabiskan waktu di Semarang. Salah satu puisinya :


Kita Masih Punya Harapan

ini sudah malam, memang
terlalu larut bahkan jika sekadar disebut malam
tapi bukan berarti harapan hanya sampai di sini
tidak, masih ada harapan lain yang mesti kita sambut
seperti ketika siang tadi berakhir oleh senja
kita tak pernah berpikir bahwa dia telah berakhir
sebab kita yakin esok akan datang siang yang lain

Dani Fuadillah


Dani Fuadhillah

(Dado Masokis)

(Surakarta)

Lahir di Serang, 11 Juni 1978. Aktif di komunitas seni teater Ayat Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta. Beberapa puisinya pernah dimuat di jurnal Pondok Hajjah Nutriyah Shob UMS. Pernah menjadi juara 1 lomba baca puisi tingkat rayon II PTS Surakarta. Salah satu puisinya :


Rasanya

rasanya pernah ada seutas tali berwarna merah
terikat dipinggangmu yang ramping
ketika kamu melenggang menirukan irama-irama
keraguan tanpa ragu

mengajak mengikuti simfoni kaku sambil
sengaja kau gigit gigit sehingga melumat lembut lidahmu
sambil membuat senyum simpul diujungnya
kau buat biar lebih erat dipegang , katamu

kadang kamu jadikan kabel telepon
hingga berjam-jam lamanya sambil rebah
kamu muntahkan kata-kata baku
rasanya, kamu masih terikat !

Solo, 25 Desember 2004

Ali Wardana


Ali Wardana

(Banyumas - Jateng)

villaivil adalah salah satu nama pena Ali Wardana. Terlahir 25 April. Dunia tulis-menulis belum begitu lama digelutinya. Karya pertamanya adalah naskah drama yang berjudul Ruang Tunggu (2000) dan telah dipentaskan pertama kali oleh teater POJOK AFakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Kemudian disusul oleh karya-karya lain. Pada tahun 2002 mendapat penghargaan sebagai Juara Pertama Lomba Penulisan Puisi dalam rangkan PEKSIMIDA (Pekan Seleksi Mahasiswa Daerah) Tingkat UNSOED Purwokerto. Sekaligus berhasil sebagai Juara ke Tiga dalam Lomba Penulisan Cerpennya. Karya-karya cerpennya dipublikasikan di media lokal. Sedang puisi dan cerpennya terkumpul dalam antologi bersama Jejak Tapak Langkah calon sastrawan Purwokerto (2005). Belajar dan singgah dibeberapa teater: TEater BAK, Teater POJOK, Teater Al Madinah, Teater Gelora Merdeka, dan sekarang bersama kawan-kawan lain membentuk Komunitas Sastra HUJAN TAK KUNJUNG PADAM. Serta mengasuh acara Sambel Terasi (Sama-sama Belajar Teater sastra Puisi) bersama seorang kawan lain di Programa 1 RRI Purwokerto. Salah satu puisinya :


Sajak Ronggeng
: teruntuk Srintil

Menimbang lenggok senyum selendangmu
kembangkan lanskap dukuh lumuh
di tingakah dayu kembang
disela suit serta tepuk tangan
di bugai ketipuk kendang

mata tergelincir liur mengalir
piker menggulir liar
naikkan gelegak darah
diantara aroma tawaran
meliuk angin nafsu

merembeskan keringat nyala
semua terangkum dalam dekapan
coba di buka
diurai
diderai.

Purwokerto, 23 April 2005

Agus Bakar


Agus Bakar

(Solo)

Adalah nama tulis dari Agus Tri Wibowo. Lahir di Wonogiri 30 Agustus 1982. Tulisannya beberapa kali muncul di mediamassa lokal maupun nasional, juga dalam beberapa antologi seperti Dian Sastro for President #2 Reload (AKY, 2004), Kisah Cinta Plastik (FSSR, 2005), Solilokui Sketsa Nurani (UNS Press, 2005) dan sebuah kumpulan puisi bersama seorang sahabat Agitasi Menjelang Diam (TBJT, 2005). Telah mempunyai dua novel Perempuan Kamar dan Nyanyian Hujan dan Mereka yang Tak Keliru (segera terbit). Kini masih tercatat sebagai mahasiswa sasta Indonesia FSSR UNS Solo. Salah satu puisinya :


Tatkala Memilih Sunyi
Mulai hari ini kita berjanji tak lagi mengulangi mimpi yang telah tersepakati. Kini aku lebih memilih sunyi: diam, daripada berjalan penuh erang kesakitan. Namun aku tahu engkau merajut kata-kata sembari mengemasi duka tanpa ampun, menimang sepi bagai rintih soliloqui embun luruh

menjelang subuh; ketika tubuh kita tak lagi utuh.
airmata menjadi goresan yang tepat bagi malam, tatkala mulut tercekat
oleh gaduhnya kenangan yang terus memburu dan memaksa hati untuk
membukanya dalam daftar memori: sebagai sebuah pertanyaan sekaligus
jawaban atas semelingnya denting sunyi ini

Kau harus berlari, perjalanan kita belum usai,
teriakmu di kejauhan sambil sesekali langkahmu tersaruk di tanah
batinku, di mana mendekam matahari yang selalu aku akrab. Dan ini suatu
keyakinan jiwa, bahwa kau tak bisa sembunyi. Kau tak bisa menghamili
geliat sunyi seperti yang telah kupilih ini.

sementara angin yang ditunggangi doa-doamu bersama ricih guyur hujan
ketika senja menancap di kening barat, kini menggerusnya jadi sengkarut
kesumat. Dan meski tanpa kata-kata, mereka mengancamku penuh
laknat

Sekali lagi, aku telah memilih sunyi. Kupilih rindu bukan kau. Kujamah
serpihan deretan nama bukan kau. Kusketsa peta perjalanan bukan kearah
kau. Namun aku dapat merasakan betapa terjal dan gaduh langkahku yang
telah melafadzkan hening nama-nama ke terbing-Nya, walau tak kentara.

Solo, bulansuci, 2005