Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Tengah

Sabtu, 11 September 2010

WILU NINGRAT


Lahir di Tegal, 25 Juni, pada 1989 pernah memenangi lomba penulisan Cerita Anak tabloid “Bina” Semarang (tabloid milik Perum Perhutani Jawa Tengah), beberapa cerpen dan cerita anak-anaknya pada kisaran 1986-1990 tayang pada “Suara Merdeka”. Sempat lama vakum dalam dunia kepenulisan dan (baru) sejak Mei 2010, aktif menulis kembali “akibat” berkawan dengan banyak penulis dan penyair lewat jejaring sosial facebook.
Saat ini bermukim di Kota Tegal (email: http://www.wilu.ningrat@yahoo.com) dan bekerja sebagai PNS di jajaran Pemerintah Kota Tegal sebagai Verifikator Pengelolaan Keuangan SKPD Sekretariat DPRD Kota Tegal.

Puisinya antara lain :

AKULAH QOBIL

cukup adam
yang kau hujam
dengan jagad bumi lantaran
dia mengunyam telan
buah ranum surga yang nyata-nyata kau nyatakan
:
“jangan!”

Aku bukan pecundang bangkang seperti adam bapakKu

Aku adalah Qobil yang nestapa lantaran tanpa tawar pilihan kau putuskan labuda sebagai mempelaiKu. betapa kau larakan Aku dengan serta-merta kau menangkan habil dan lantas menganugerah Iqlima selaku garwa.
Iqlima oh Iqlima.

Aku adalah Qobil yang membimbang sayang atas rahman-rahimmu, yang meragu tahu-adilmu juga segala mahamu, yang menternyata kaulah buta bahwa Iqlima adalah darah merah cintaKu juga surga segar gairahKu.
Iqlima oh Iqlima.

Aku adalah Qobil yang betapa kau hantamkan serupa pendulum ke ulu nadi-hatiKu, nelangasa, pilu, sembilu dan hurrraaa! akan kurajam-mati Habilmu serupa kau lempar dari surga bapakku adam, bundaku hawa ke raya-dunia ini.
Iqlima oh Iqlima.

Aku bukan pecundang bangkang seperti adam bapakKu

sia-sia
kau kirim elang legammu memanggul bangkai sesama
yang dengan cakar paruhnya
susah payah menggali tanah liang menganga
Aku tak hendak meniru laku-kubur elangmu karena
:
“tidak!”

_________________
mei dua ribu sepuluh


PESONA
laksmi devi

perahu kekar tak berjangkar melabuh di jenjang lehermu yang menawarkan kesenantiasaan siur angin sejuk sepanjang hasrat. matahari oh matahati gelusur rendah nyaris persis pada titik simetris diagonal antara sigar belah kanan kiri atas bawah lehermu membenderang lembut laju perahumu. ombak oh semebyak mengoleng perahu meski tak sampai memenceng arah shirat. cakrawala oh Segala Maha membaris bakau kelapa yang siapa sangka ranum buahnya adalah khuldi penghalang sesat iradhat. langit oh mencit tiada bosan menawarkan awan dan menuangkannya dalam cecawan bagi tiap siapa yang dahaga. pulau oh terlampau tapi mengapa hari enggan merupa senja dan apalagi memuka legam malam.

pada lehermu aku menemu nirwana serupa samudra tak berdermaga dan aku sejatinya terkesima pana
semesta

bahkan
Musa berlaga sempurna dengan tongkatnya
di sana
Ada!

_________________
mei dua ribu sepuluh


MENEMU IBU SUBUH TADI

i.
seusai lunaskan sholatnya subuh tadi, ibu terisak pilu
ada yang sirna dari telapak kakinya
:
surga!

ii.
ketika ibu melepas gelung sanggulnya, serta merta dari lelanjar rambut itu beburung dara mengepak sayap, mengawang terbang, memangsa hawa, memencit langit
ke mana mereka hendak hinggap
sedang reranting, dedahan, pepohon, rumah singgah, segala-gala
tiba-tiba meniada, tiba-tiba gulita
"srengenge wahai srengenge," anak-anak dara melagu lara
pagi benar-benar tak bersinar, hari nyata-nyata tak bermata
beburung dara mulai terengah-engah, terdera lelah, terbang berendah

sementara dari atas cadas sebongkah batu, ibu duduk menyimak semuanya, seksama
"surgaku yang hilang bahkan belum tergantikan" gumamnya lirih sembari dia injaktapakkan kua-kuat kedua kakinya yang tak beralas ke tanahbumi, memapah langkah, perlahan menjalan menuju rumah lelah tempat sesinggah,
istirah

iii.
subuh melalu, beburung dara tahu meski langit masih saja wingit
dhuha, duhai dhuha … menyapa dalam gelut gulita

demi masa yang Dia mengata segala insana sama sekali tak melaba
illa, illa, illa …
jika ibu tak lagi menyembunyi dua matahari pada dua telapak kakinya

iv.
ibu masih saja pilu, isak tangisnya mengelabu pada dinding yang bahkan segala lukisan yang tergantung padanya, merinding terdera belantara lara
“tak kan kulepas dua matahari ini dari telapak kakiku, sebelum anak-anaku berjanji tak lagi menyia-nyiakan surgaku,” geram ibu dalam batin, sesak.

__________________________
sentanan, mei dua ribu sepuluh


JEMARI

dengan apa lagi kuhitung usia ketika kedua puluh jemari tak lagi kuasa membaca
angka atau mestikah kurunut jemari ini satu per satu sebagai persaksian
perjalanan nadi nafas darah pada telunjuk yang acap ngucap
syahadat menghalau sesat menatih jalan nuju kiblat
pada jari manis yang memukim cincin cinta
memasung angan ingin kepada goda
pada ibu jari yang menyanjung
sesama atau menyengaja
ria melimbung diri
pada kelingking yang
sewenang melaku batil
kerna menilai kecil ciptaNya
pada sepuluh jari kaki yang tak
kenal lelah rampak menapak langkah
pada sisa jemari kubiar polah jengah mengeja
nama atau sekedar menerka kemana hendak menindak
pada sisa usia atau juga demi semata-mata tanya ke ragajiwa siapakah kau aku?

_____________________________________________
mangkukusuman, sembilan belas mei dua ribu sepuluh


TAMAN POCI KOTA TEGAL, PADA SEBUAH SENJA

jangan tanya tentang kembang karena di taman ini cuma ada bunga dan itu pun
bunga utang yang dimodalkan rentenir kepada bakul jagung bakar, pedagang mainan,
penarik odong-odong yang nyatanya bukan untuk mengembang usaha tapi cuma
demi menutup lubang utangutang mereka dari pemasok utang lain

jangan tanya tentang pancur air atau patung pahlawan sebab di taman ini hanya
tampak poci retak nglumut yang mampet gerujuk airnya dari leher poci dan kalaupun
ada monumen, sungguh itu sekedar onggokan batu semen bercat kusam yang
mati makna di atas lempeng tanah tandus berumput kecut

senja di taman poci, aku memburu sosok garang satpol p.p., sosok kritis mahasiswa
yang padahal berkampus di seberang utaranya, sosok bijak penguasa kota,
sosok kharismatis wakil rakyat, dimana? kemana? tengah apa? atau justru mereka kah? sosoksosok yang senyatanya pesta raya memfungsi taman menjadi Pasar!

____________________________________________________
taman poci kota tegal, dua puluh sembilan mei dua ribu sepuluh