Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Tengah

Selasa, 23 Oktober 2012

Erlin Erlina Soraya

Erlin Erlina Soraya, terlahir di kota kecil Banjarnegara ( Jawa Tengah ) 39 tahun yang lalu dari pasangan Ibu Tis Chotimah dan Bapak Suharto ABS. Sedang memulai menulis dan mecoba untuk jadi perupa. Ketika kecil dia tergolong gadis yang lincah, sangat sehat. Kesehariannya dia selalu bermain dengan paman dan teman-temannya. Sebagian besar temannya memang anak laki-laki sehingga pembawaanya pun hampir seperti anak laki-laki (tomboy). Namun setelah lulus SMA harapannya untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi terkendala biaya, sehingga yang ada dalam pikirannya begitu lulus adalah bekerja. Selain keinginan untuk membantu orang tua membiayai adik-adiknya sekolah, terpikir juga pada kelanjutan pendidikannya. Erlin berhasil diterima di sebuah perusahaan bonavide di Bekasi, dan di sana diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya. Namun setelah 6 bulan diangkat sebagai karyawan tetap, Erlin jatuh sakit dan dilarang bekerja keras oleh dokter, karena memang harus menjalani pengobatan seumur hidupnya. Dan selama hampir 17 tahun ini Erlin hanya berdiam di rumah bersama keluarga. Alhamdulillah, sampai suatu hari mengenal dunia lain melalui internet ia bertemu dengan kawan-kawan lamanya saat SMA dulu, sampai kawan-kawan baru. Berangkat dari sinilah Erlin mengenal dunia kepenyairan, awalnya dari Kak Johar Arifin sampai bertemu dengan AKI (Abdul Kohar Ibrahim) dan Bapak Misbach Tamrin, merekalah yang membimbingnya secara langsung lewat internet (Facebook).


UJUNG WAKTU

adalah langit tempat berdiam sejoli bintang dan bulan
ketika mendung bergelayut menyembunyikannya
di balik kelabunya awan, sehingga mentari kehilangan
langit putih memjelma kelam

hujan ketika malam adalah rinai hati
setelah malam merayap pergi berlahan
malu-malu matahari membiaskan sinarnya
berjingkat mengendap-endap bersama angin

pelangi telah jatuh di ujung danau
ketika hujan pagi sudah enggan mencium bumi
pada matahari ia menengadah
: terima kasih kau telah membuat langit menjadi indah

hari-hari telalu cepat berganti
ketika mimpi tiada yang sudah
namun bukan kekalahan sang waktu
karena hanya berjalan yang dia tahu

awan putih menyandarkan hati pada senja
ketika lelah menyapa begitu lama
hingga malam menurunkan kembali jubahnya
: dengar, ujung waktu telah memanggilnya

BNA Wanadadi 23/10/2012


PESAN

kekayaan-Mu tak pernah semu
: berhambur, di raya luas tak terbatas
adalah ceria daun ketika siang panjang
dan mimpi musafir di bawah rimbunnya

kepada-Mu
kukatakan cinta
tak hanya ketika sepi berpuisi
namun di tiap detak jantung denyut nadi

ketika siang terang
matahari berbisik pada kepul awan
: jangan biarkan bumi kerontang
ketika kelamnnya malam
bulan tak pernah lupa menitip pesan
: kemanapun kau tengadah wajah-Nyalah yang terindah


RINDUKU, SEMESTA

aku ingin lihat
semesta nun jauh
ketika buih memeluk pantai
ketika gelombang menari dengan riaknya
ketika perahu kecil melabuh
dan ikan menanti jalanya

memerdu syahdu lagu dalam hatiku
ketika siang mulai temaram
mengubah laut menjadi warna jingga
tersenyum ramah
pada bulan yang masih sembunyi di balik bilik awan

kenapa rindu ini kian saja
bekulah hatiku
ketika hening memeluk jiwa
medekap cerita tentang semesta
yang tak lelah bertasbih pada-Nya

Semesta
malaikat, jin
gunung-gunung, gurun
bumi hingga tujuh langit
ikan besar di laut hingga semut
dan burung hudhud
semua bertasbih

aku malu
ketika bisik semesta tak henti
mengeja keluasan kasih-Nya
merasai kelembutan cinta-Nya
biarkan aku juga sama...
denganmu, duhai semesta

biar aku merasai setitik embun jatuh
di antara kabut dan sisa rembulan

Tuhan...


PERJALANAN

naik turun bukit berkabut
dari mendung siang hingga temaram senja memudar jingganya
pergilah ke sebuah tempat, istirahkan raga ketika lelah

berharap mendung tadi mengundang hujan
membawa pelangi, yang berjuntai seperti selendang penari
dan biar kularung pandanganku ke sana
pada ujung langit hingga bumi

malam ini, bulan sangat pemalu
dia selalu datang ketika malam menjelang
hanya pada gemintang dia banyak bercerita
tentang rindunya pada matahari

seringkali bulan sembunyikan sinarnya
yang keperakkan di balik awan
dia lebih suka hanya menitipkan pesan pada hujan
untuk mengikat rindu lewat tetesnya

Kekasih
di depan sana adalah rajutan misteri
yang tidak kumengerti
pasti Kau telah dengar gelisah
kesudahan derita adalah keinginan
entah hanyut di lautan nyeri
hingga layar sabar mesti dikembangkan


BNA Wanadadi 22/10/2012


RINDU BIDADARI KECILKU

gigil dingin membuatku hanya diam
senyap tak membuatku beranjak
indahnya kunang-kunang pada kelam
tak lagi menyihirku

hingga gumpalan lembut putih keabuan
perlahan turun menjelma embun
bergayut pada daun
namun
pesonanya yang jelita
tak jua mengundang senyum

bidadari kecilku
kau adalah cinta yang tak terhapus
kini telah kau tanam sunyi di mataku
terbaring, menghilang ceriamu
mata jelimu lemah memandangku
kali ini kau adalah kejora
yang menyayat jiwaku

lihatlahsayang...
jendela pun muram memandangmu
ia rindu kau bukakan daunnya
rindu sandaran tubuhmu ketika pagi
menunggu biasnya mentari

dan esok
hujan di luar sana
telah meninggalkan warna
pelangi yang kau suka
tersenyum mempesona

pada-Mu
sang penggenggam segala
kembalikan kejora di matanya
ceria yang biasa kusuka
tawanya yang membuat laraku sirna


MENGEJAR MIMPI

mentari pecah di ujung ranting
cinta yang terbelenggu pada bibir petang
lesap ditelan malam
ketika angin mati
hadir mimpi yang gelisah

derita datang
bukanlah kemauan
keputusan datang
tanpa keinginan

telah kubungkus rindu
pada penggal jalan
namun
masih mengejar mimpi
laut senandungkan cinta
camar mengepak manis sayapnya
ombak nyanyikan riak rindu

ketika bulan masih bergelayut pada awan
mendung tertawa gamang
hujan tak berani datang

aku ingin
seperti ketika itu
ada kupu-kupu melanda perutku
ada letup dalam debar
ada kejora di bening mata


BNAAY Wanadadi 05/10/2012

Senin, 28 Maret 2011

A.Ganjar Sudibyo



Penulis yang bernama pena Ganz Pecandukata ini masih tercatat sebagai mahasiswa aktif fakultas psikologi Universitas Diponegoro Semarang, mengelola blog puisi pribadinya (penyairpadipecandukata.blogspot.com) dan note facebook. Dua puisinya pernah menjuarai lomba dalam rangka sayembara puisi antologi Penghujung Tahun 2009, dua puisi lainnya pernah masuk dalam deretan finalis lomba cipta puisi indosat 2010 (salah satunya menjadi salah satu dari tiga puisi terbaik indosat) yang selanjutnya akan diterbitkan dalam buku “Antologi Puisi Indosat 2010”, pernah mendapat peringkat II lomba penulisan puisi dalam rangka PEKSIMINAS tingkat Universitas Diponegoro, peringkat V lomba penulisan karya sastra puisi tingkat universitas (PEKSIMIDA) se-Jawa Tengah 2010, mengikuti lomba penulisan karya sastra puisi tingkat nasional PEKSIMINAS 2010 di Pontianak, puisinya pernah menjadi nominator lomba Puisi FTD Riau 2010. Puisi-puisi tersebar di berbagai situs (seperti fordisastra.com, rumahdunia.com, kompas.com), media massa lokal, buku antologi puisi “Beranda Senja”, “Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010” . Saat ini, penulis sedang menyusun naskah puisinya untuk diterbitkan dalam bentuk e-book dan buku pertamanya “KATARSIS”.


INGATAN ADALAH TAK ADA KATA SELEBIH CINTA

yang cadas dari setiap pertemuan
adalah kakimu- -menggambar jalan
menuju kampung di atas perasaan
yang kau bangun usai kita melepas
kenangan lunak tentang makan malam
dan sebuah gunung kesendirian

yang cinta dari setiap pengingatan
adalah rambutmu- -menggerai nasib
peradaban yang musti ditinggalkan,
sebab tak ada sisa dari rambutmu
pelukan-pelukan kapas yang angin
lalu terbawa kata selebih cinta

menuju sunyi ingatan.

2010


PUISI SEORANG JUDUL

tulislah tulis kenapa
kata kata tak habis dimakna
kepadaku sebagai pintu

mengetuk seraya sekadar mengantar
kepergian yang sama, bersambut sisa rambutmu
usai setiap malam kupotong di depan kertas
dengan segala cinta yang retas

mengetukmu adalah penyambutan diri
seperti seseorang menuliskan
nama kepada kata yang memberinya
salam peninggalan

selamat salam, kuberikan untukmu
pintuku tersayang;
sebagai tanda mata-kata
aku mencatat setiap potongan penghadiahanmu
di setiap aku kembali melihat seorang baru
bernama judul.

2010


SECEPAT APAKAH WAKTU DI GELAS KOPIMU

secepat apakah waktu di gelas kopimu
sehingga penungguan yang hidup sanggup
merayakan kegigilan sore

lalu,
kau memangil manggil cintaku yang endap
rinduku yang lindap

secepat apakah waktu di gelas kopimu
lihatlah! aku tak sabar menenggaknya
tanpa merasa pahit

tbrs semarang, 2010


LEPAS LINGKAR JATUH BATU-BATU BEKU
:mi

bagaimana mengukur bulan
dari mimpi yang tampak
cembung di kolam selatan,
mi?

udara kian ranjang dan panjang
untuk segala yang tersingkap
sembunyi di balik memo bantal
tentang batu-batu jatuh
dan rindu yang lingkar
lepas
melepas
rapalan tulisan sunyian
isyarat arah diam

kini
ruhbulan tercetak-baca
ke atas penggaris
buku-buku batu
beku.

2010


MATA AKUT MATA SAKIT, SENJA

sembilu itu kunamai senja
yang jingga yang saga
pesakitan berlepasan
di setiap singgah
setiap kesah

mataku

ia selalu menulis kau
yang asap dan akut
hingga seketika tak
ada. tak ada

nama lain mata lain
senja berjatuhan
dari kutuk paling jauh

senja
:
orang-orang bertatapan
tanpa mata tanpa

kau!

semarang, 2010


Sumber :
ISYARAT JANTUNG DAN MATA
(sekumpulan puisi)

Sabtu, 11 September 2010

WILU NINGRAT


Lahir di Tegal, 25 Juni, pada 1989 pernah memenangi lomba penulisan Cerita Anak tabloid “Bina” Semarang (tabloid milik Perum Perhutani Jawa Tengah), beberapa cerpen dan cerita anak-anaknya pada kisaran 1986-1990 tayang pada “Suara Merdeka”. Sempat lama vakum dalam dunia kepenulisan dan (baru) sejak Mei 2010, aktif menulis kembali “akibat” berkawan dengan banyak penulis dan penyair lewat jejaring sosial facebook.
Saat ini bermukim di Kota Tegal (email: http://www.wilu.ningrat@yahoo.com) dan bekerja sebagai PNS di jajaran Pemerintah Kota Tegal sebagai Verifikator Pengelolaan Keuangan SKPD Sekretariat DPRD Kota Tegal.

Puisinya antara lain :

AKULAH QOBIL

cukup adam
yang kau hujam
dengan jagad bumi lantaran
dia mengunyam telan
buah ranum surga yang nyata-nyata kau nyatakan
:
“jangan!”

Aku bukan pecundang bangkang seperti adam bapakKu

Aku adalah Qobil yang nestapa lantaran tanpa tawar pilihan kau putuskan labuda sebagai mempelaiKu. betapa kau larakan Aku dengan serta-merta kau menangkan habil dan lantas menganugerah Iqlima selaku garwa.
Iqlima oh Iqlima.

Aku adalah Qobil yang membimbang sayang atas rahman-rahimmu, yang meragu tahu-adilmu juga segala mahamu, yang menternyata kaulah buta bahwa Iqlima adalah darah merah cintaKu juga surga segar gairahKu.
Iqlima oh Iqlima.

Aku adalah Qobil yang betapa kau hantamkan serupa pendulum ke ulu nadi-hatiKu, nelangasa, pilu, sembilu dan hurrraaa! akan kurajam-mati Habilmu serupa kau lempar dari surga bapakku adam, bundaku hawa ke raya-dunia ini.
Iqlima oh Iqlima.

Aku bukan pecundang bangkang seperti adam bapakKu

sia-sia
kau kirim elang legammu memanggul bangkai sesama
yang dengan cakar paruhnya
susah payah menggali tanah liang menganga
Aku tak hendak meniru laku-kubur elangmu karena
:
“tidak!”

_________________
mei dua ribu sepuluh


PESONA
laksmi devi

perahu kekar tak berjangkar melabuh di jenjang lehermu yang menawarkan kesenantiasaan siur angin sejuk sepanjang hasrat. matahari oh matahati gelusur rendah nyaris persis pada titik simetris diagonal antara sigar belah kanan kiri atas bawah lehermu membenderang lembut laju perahumu. ombak oh semebyak mengoleng perahu meski tak sampai memenceng arah shirat. cakrawala oh Segala Maha membaris bakau kelapa yang siapa sangka ranum buahnya adalah khuldi penghalang sesat iradhat. langit oh mencit tiada bosan menawarkan awan dan menuangkannya dalam cecawan bagi tiap siapa yang dahaga. pulau oh terlampau tapi mengapa hari enggan merupa senja dan apalagi memuka legam malam.

pada lehermu aku menemu nirwana serupa samudra tak berdermaga dan aku sejatinya terkesima pana
semesta

bahkan
Musa berlaga sempurna dengan tongkatnya
di sana
Ada!

_________________
mei dua ribu sepuluh


MENEMU IBU SUBUH TADI

i.
seusai lunaskan sholatnya subuh tadi, ibu terisak pilu
ada yang sirna dari telapak kakinya
:
surga!

ii.
ketika ibu melepas gelung sanggulnya, serta merta dari lelanjar rambut itu beburung dara mengepak sayap, mengawang terbang, memangsa hawa, memencit langit
ke mana mereka hendak hinggap
sedang reranting, dedahan, pepohon, rumah singgah, segala-gala
tiba-tiba meniada, tiba-tiba gulita
"srengenge wahai srengenge," anak-anak dara melagu lara
pagi benar-benar tak bersinar, hari nyata-nyata tak bermata
beburung dara mulai terengah-engah, terdera lelah, terbang berendah

sementara dari atas cadas sebongkah batu, ibu duduk menyimak semuanya, seksama
"surgaku yang hilang bahkan belum tergantikan" gumamnya lirih sembari dia injaktapakkan kua-kuat kedua kakinya yang tak beralas ke tanahbumi, memapah langkah, perlahan menjalan menuju rumah lelah tempat sesinggah,
istirah

iii.
subuh melalu, beburung dara tahu meski langit masih saja wingit
dhuha, duhai dhuha … menyapa dalam gelut gulita

demi masa yang Dia mengata segala insana sama sekali tak melaba
illa, illa, illa …
jika ibu tak lagi menyembunyi dua matahari pada dua telapak kakinya

iv.
ibu masih saja pilu, isak tangisnya mengelabu pada dinding yang bahkan segala lukisan yang tergantung padanya, merinding terdera belantara lara
“tak kan kulepas dua matahari ini dari telapak kakiku, sebelum anak-anaku berjanji tak lagi menyia-nyiakan surgaku,” geram ibu dalam batin, sesak.

__________________________
sentanan, mei dua ribu sepuluh


JEMARI

dengan apa lagi kuhitung usia ketika kedua puluh jemari tak lagi kuasa membaca
angka atau mestikah kurunut jemari ini satu per satu sebagai persaksian
perjalanan nadi nafas darah pada telunjuk yang acap ngucap
syahadat menghalau sesat menatih jalan nuju kiblat
pada jari manis yang memukim cincin cinta
memasung angan ingin kepada goda
pada ibu jari yang menyanjung
sesama atau menyengaja
ria melimbung diri
pada kelingking yang
sewenang melaku batil
kerna menilai kecil ciptaNya
pada sepuluh jari kaki yang tak
kenal lelah rampak menapak langkah
pada sisa jemari kubiar polah jengah mengeja
nama atau sekedar menerka kemana hendak menindak
pada sisa usia atau juga demi semata-mata tanya ke ragajiwa siapakah kau aku?

_____________________________________________
mangkukusuman, sembilan belas mei dua ribu sepuluh


TAMAN POCI KOTA TEGAL, PADA SEBUAH SENJA

jangan tanya tentang kembang karena di taman ini cuma ada bunga dan itu pun
bunga utang yang dimodalkan rentenir kepada bakul jagung bakar, pedagang mainan,
penarik odong-odong yang nyatanya bukan untuk mengembang usaha tapi cuma
demi menutup lubang utangutang mereka dari pemasok utang lain

jangan tanya tentang pancur air atau patung pahlawan sebab di taman ini hanya
tampak poci retak nglumut yang mampet gerujuk airnya dari leher poci dan kalaupun
ada monumen, sungguh itu sekedar onggokan batu semen bercat kusam yang
mati makna di atas lempeng tanah tandus berumput kecut

senja di taman poci, aku memburu sosok garang satpol p.p., sosok kritis mahasiswa
yang padahal berkampus di seberang utaranya, sosok bijak penguasa kota,
sosok kharismatis wakil rakyat, dimana? kemana? tengah apa? atau justru mereka kah? sosoksosok yang senyatanya pesta raya memfungsi taman menjadi Pasar!

____________________________________________________
taman poci kota tegal, dua puluh sembilan mei dua ribu sepuluh

Minggu, 18 Januari 2009

Teguh Trianto



Lahir di sebuah desa terpencil di kaki Gunung Slamet, Desa Pagerandong, Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah, tanggal 28 Desember 1978.
Pernah bekerja sebagai wartawan. Kini menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada SMK Widya Manggala Purbalingga.
Tulisannya berupa puisi, artikel dan esai telah diterbitkan di Harian Bernas Jogja, Tabloid Minggu Pagi, SKH Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Koran Sore Wawasan, Suara Pembaruan, Radar Banyumas, Seputar Indonesia (Sindo), Suara Karya, Suara Merdeka, Batam Pos, Jurnal Sastra Pesantren Fadilah Yogyakarta, Jurnal Penelitian Agama (JPA) STAIN Purwokerto, Buletin Sastra Literra Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT), Majalah Rindang, Annida, dll.
Buku antologi yang telah terbit; puisi ‘Jiwa-jiwa Mawar’ (Bukulaela, 2003), ‘Untuk Sebuah Kasihsayang’ (Bukulaela, 2004), antologi ‘Puisi Penyair Jawa Tengah’ Pendhapa-1 (TBJT 2005). Kumpulan Cerpen (Kumcer) ‘Robingah Cintailah Aku’ STAIN Purwokerto Perss (Grafindo 2007), antologi ‘Temu Penyair Antar Kota’ Pendhapa-5 (TBJT 2008).
Alamat surat : Teguh Trianton, Desa Pageradong Rt 02/I Kec. Mrebet Kab. Purbalingga, Jawa Tengah 53352. Telp. 08156987444.
e-mail: teguh3anton@yahoo.com, anton_aktualita@yahoo.com.


Pledoi 2
Puncak kebahagiaan adalah airmata



akadku padamu
di dadamu kutulis puisi
lengkap dengan sajadah
dan airmata

seperti pemburu yang mengeja anak panah
di dadamu kutemukan yang melebihi jantung
dari puncak airmata

Purbalingga, Februari 2008


Pledoi 3
Seperti Malam

kangen

seperti malam
batinku telah larut
oleh mimpi
tentangmu
berkalikali

Purbalingga, Februari 2008


Pledoi 4
Kebencian


seperti hujan
cinta selalu saja
tumbuh dari kebencian

tubuh yang menggigil
batin yang basah

seperti hujan
cinta adalah kebencian
yang membatu
di dada

sehingga
aku benci
membencimu

Purbalingga, Februari 2008


Pledoi 5
Mengais Cahaya


saat segala cahaya lindap
justru di situ aku melihat
bayangan diri ini mengendapendap
mengais cahaya direnruntuhan
tubuhku

Purbalingga, Maret 2008


Pledoi 6
Meditasi Tepi Laut

di kelam hari
di tepi laut
aku tak menemukan apapun
selain ombak pecah
yang gaduh
membuatku merasa
paling sunyi

Purbalingga, Maret 2008


Pledoi 7
Di Kelam Hari


entah siapa yang memulai
sehingga tercipta percakapan
yang kian batin

dan kau bertanya
kenapa kupilih laut serupa kiblat
dan pantai sajadah yang menghampar
dan pasir butir tasbih

wiridku debur ombak
yang selalu pecah di keheningan
yang terus berulang
mendaratkan ciuman sepi

Purbalingga, Maret 2008


Pledoi 8
Nusakambangan

melompati laut
mengejar matahari senja
pada matamu kakiku tersangkut prasangka
dan waktu menjatuhkan ingatanku

tak ada yang lebih ibu
tak ada yang lebih anak
tak ada yang lebih ayah

tak ada yang lebih sayang
tak ada yang lebih rindu
tak ada yang kian dendam
tak ada yang lebih rendezvous

setelah tali buritan terikat daratan

yang paling ombak
yang kian pantai
yang paling romantis
adalah nusakambangan

Cilacap, Maret 2008


Batam Pos - Minggu, 04 Januari 2009

Kamis, 11 Oktober 2007

Yudhi MS



(Kudus)

Lahir pada 17 Juni 1954. Selain menulis sajak, penyair yang pernah mengasuh acara Ladang Sastra di Radio Muria Kudus pada 1983-2000 juga menulis cerpen, artikel, dan geguritan (puisi Jawa). Karyanya dimuat di berbagai media massa antara lain Sinar Harapan,Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, Bernas, Wawasan, Kumandang, Panjebar Semangat, Senang, Midi, Anita Cemerlang. Sebagai pengurus Dewan Kesenian Kudus sejak 2004. Tahun 1991 bersama Mukti Sutarman Espe, M.M. Bhoernomo, dan penulis lainnya mendirikan komunitas Keluarga Penulis Kudus (KPK), sebagai ketua periode pertama (1991-1994). Kumpulan sajaknya Matabunga (1999), Selain itu, antologi Menara (1993), Antologi Puisi Jawa Tengah (1994), Progo (1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), Lawang Sewoe (1996), Angin Ladang (1996), Menara 2 (1997), Zamrud Khatulistiwa (1998), Jentera Terkasa (1998), Pabrik (1998), Menara 3 (1999), Masih Ada Menara (2004), Mahaduka Aceh (2005). Salah satu puisinya :

Debu-asap Di Kurusetra
(1)
debu belum benar sirna
kepul aspal masih bersisa
dan udara kehilangan warna

dan engkau kehilangan sesuatu yang paling berharga
dan engkau kehilangan sesuatu yang paling bermakna
Duryudana,
pada air telaga kau berendam, dapatkah gerah teredam?
andai badai menerjang, yakinkah reranting kering
kuat bertahan?
apa lagikah yang akan kauraih-pegang?
helaan nafas itu, sesal ataukah sengal, mempertegas
kebimbangan yang mengekal, sejak prosesi penobatan itu,
dalam urat darahmu
o, rambut harus dibelah-belah untuk memisahkan tekad
dan takut
o, kilat harus dipatah-patah untuk membedakan kalem
dan kalut
pada bau angit meniti langit kaulepas zirah prajurit
pada amis darah mengaliri lembah kaulempar jiwa ksatria
pada angin mati dicekik sepi kautitipkan mahkota kekerdilan
; untuk yang pertama, untuk yang pertama, kau merasa
betapa pahit mengulum buah kesia-siaan
bagi arwah para leluhur, guru, dan kerabat, yang matanya
berkaca-kaca, “terlalu jauh hasrat kembara,” airmata pun
sanggup kaubendung
bagi arwah saudara, perwira, dan balatentara, yang matanya
bertanya-tanya, “masih kurang banyakkah tombak bicara?”
ngeri pun kautelikung
bagi arwah rakyat jelata yang pada setiap peperangan selalu jadi
korban, yang matanya pudar cahaya, “terlalu nyeri jiwa yang
luka,” tak membuatmu limbung
; tapi tak mungkin kauingkari kali ini – baru kali ini, bukan? –
ketika bersendiri, seperti ketika bulan diremuk awan,
betapa teramat sepi tertikam sebuah kekalahan
lantas, kepada siapa telunjukmu menuding ketika burung-burung
nazar melintas-lintas di atas Kurusetra yang garing
seakan musim dipergegas menjemput dedaun ranggas,
mewartakan para janda dan anak-anaknya berpelukan
memerah airmata berkepanjangan?
selalu kuberi ingat dalam lembut bisikan
akan luas akibat ketamakan kekuasaan
tapi selalu kautentang
tapi selalu kautendang

(2)
kaularung segala tumpahan batin
pada sungai kenangan yang mengalir ke pantai dendam
memuara pada laut kelam – atau benderang, tapi taklagi berani
kausebutkan – yang membawamu kembali ke masa silam,
masa silam saat bulan bercadar dan bintang tak beredar
dan – seperti yang pernah dikabarkan – serigala-serigala
melolong-lolong, suaranya menggentarkan semua tingkap
pun pilar puri remang Hastinapura
dan suara itu kini memerihparahkan rongga dadamu
menopang kelopak matamu, memampangkan saat-saat Bunda
Gendari dengan gemas menendang segumpal darah-daging
yang lahir dari rahim sendiri. berkeping-keping.
ditangisi rerumput taman sari,
menjelma seratus bayi
seratus bayi Kurawa, diperam dalam panggang kedengkian
dan dijunjung pada panggung kecemburuan oleh tangan
Patih Sengkuni. pamanmu itu tak menuntun kalian
menyusuri lembah keprihatian, lembah istirah bagi jiwa
berserah, atau memandang dengan mata batin
pada akar merambah dalam tanah dan pada ranting
mencakar ke udara
sedang Bunda Gendari menyembunyikan air susunya
menenggelamkan jiwa dalam samudera kekecewaan,
menjerang sukma pada bara kebencian. secabik selendang
menutup penglihatan mendampingi suami sang Dhestarastra,
ayahandamu yang cacat netra
tak ingin kurang dari yang diingin
bergelimang emas cemerlang engkau dan adik-adikmu
alpa mengeja bintang-bintang yang bersembunyi di hari siang
tapi pedih membayangbuntuti, ada satu hal tak terpenuhi
dan gagal kaucari

(3)
ku dengar juga suara itu
bisikan yang sangat kukenal dan sering kusangkal
datang dari negeri jauh, menjelma jarum-jarum meluruh
begitu kubenci karena selalu melukai wajahku sendiri
wajah berlumur lumpur yang selalu kucari
di medan tempur
betapa menjadi suram wajah ini
manakala melati menyebar aroma suci melenakan Pandawa
dalam rengkuhan cinta jemari Bibi Kunti
dan warna tembaga pun membarakan angsoka menyimpulkan
senyum kepada Arjuna serta saudara-saudaranya
ketika lulus pendadaran, diiring kata-kata berbunga
dirangkaikan Bapa Guru Drona
dan semilir angin menarikan daun-daun nagasari
menyongsong Bima dan saudara-saudaranya yang masih bisa
lolos dari perangkap api yang menghanguskan Balai Sigalagala
dan seroja-seroja memamerkan kelopak-kelopaknya
menghiasi telaga menyambut Yudistira melaksanakan
Sesaji Raja Suya, aswamedayajna, dalam waktu
tak berapa lama setelah naik tahta
di Indraprasta
dan mengapa kembang gading mengirimkan harumnya
untuk kelapangan Nakula-Sadewa beserta
abang-abangnya yang dua belas tahun mendekam
di dalam rimba raya Kamiaka
dan mengapa pula kemuning bermekaran bersuka
atas keselamatan kelima anak Paman Pandu Dewanata
dalam penyamaran sebagai hamba di Wirata

(4)
kau lupa sungai Jamuna tak henti mengalirkan airnya
kau tak hirau lereng Kelasa masih menyinarkan semburat hijau
kau tak mau tahu puncak Himalaya senantiasa melelehkan salju
; maka mana mungkin semua akan menghilir, meneduh,
dan membekukan nafsu angkaramu?
burung-burung enggan mengucap salam
meski mahkota itu lebih cepat pada kepalamu dikenakan
dan renda-renda mimpimu terkoyak oleh cakar-cakir anjing
menyalak, anjing yang kaucipta dalam khayal busuk,
meski Pandawa tak pandai mengutuk
; bukankah selalu kautempelak
jika sekali waktu kauingatkan soal hak?
wahai, suaramukah itu
yang bisiknya merebakkan kebimbanganku dan memadamkan
lentera pada wajahku yang menyenja
wajah yang menjelaga turun ke dada
dan betapa dahsyat gemuruhnya
ya, betapa dahsyat nadi mendidih bergejolak gemuruh
dalam perang besar ini mereka berdiri angkuh, kukuh dan utuh
sementara tak lagi kusua Dursasana, Durmagati, Citraksa,
Citraksi, beserta adik-adik tercinta. Bapa Drona, Paman Patih,
Senapati Karna, Bapa Prabu Salya, dan Eyang Bisma semuanya
pralaya
dan hari-hari pun tinggal bayang manakala aku pun kehilangan
anak tungalku Lesmana, curahan
segala damba

(5)
korban berjatuhan dari semua pihak seakan biji asam berserak
di pingir-pinggir jalan. nyawa yang terlepas seakan uap
melayang tak berbekas. darah bersimbah seakan arak muncrat
bagi arwah para leluhur, guru, dan kerabat, yang matanya
berkaca-kaca, “terlalu jauh hasrat kembara,” airmata pun
sanggup kaubendung
bagi arwah saudara, perwira, dan balatentara, yang matanya
bertanya-tanya, “masih kurang banyakkah tombak bicara?”
ngeri pun kautelikung
bagi arwah rakyat jelata yang pada setiap peperangan selalu jadi
korban, yang matanya pudar cahaya, “terlalu nyeri jiwa yang
luka,” tak membuatmu limbung
; tapi tak mungkin kauingkari kali ini – baru kali ini, bukan? –
ketika bersendiri, seperti ketika bulan diremuk awan,
betapa teramat sepi tertikam sebuah kekalahan
lantas, kepada siapa telunjukmu menuding ketika burung-burung
nazar melintas-lintas di atas Kurusetra yang garing
seakan musim dipergegas menjemput dedaun ranggas,
mewartakan para janda dan anak-anaknya berpelukan
memerah airmata berkepanjangan?
selalu kuberi ingat dalam lembut bisikan
akan luas akibat ketamakan kekuasaan
tapi selalu kautentang
tapi selalu kautendang
dari piala yang pecah. bagimu hanya tumbal tak berarti,
beribu pembenaran kausodorkan demi pelampiasan
nafsu tak terkendali
Duryudana, belum cukupkah sudah?
masih akankah memburu angin, menggapai gugus mega,
berlomba dengan bayang-bayang?
segeralah bangkit, akhiri berendam pada air mengarus diam
lihatlah Pandawa diiring Sri Kresna telah menemukanmu,
datang untuk menutup kitab kelaliman-kekelaman
usaikan dengan gagah kepergian tak terimpikan
meski tanpa kidung dan kembang berluruhan
usah gemetar bila kau sadar betapa Prabu Dwaraka tahu
Sang Drona harus dilumpuhkan oleh Drestajumna,
Sang Dipayana harus dihadapi Srikandi; tentu iapun mafhum
akan sebuah kelemahan di paha kiri
biarkan debu segera sirna
kepul asap akan lenyap tak bersisa
dan kebiruan membentang di atas
cakrawala

Kudus, 2001

Thomas Budi Santoso


Thomas Budi Santoso

(Kudus)

Lahir di Pati, 19 Nopember 1944. Menulis puisi sejak tahun 60-an. Beberapa puisinya dimuat di antologi puisi Masih Ada Menara dan sajak Kudus, Koran Republika, Sinar harapan, Suara Pembaruan, wawasan, Suara merdeka dan Sinergi. Sebagai penasehat Dewan Kesenian Kudus dan Penasehat Keluarga Penulis Kudus. Kini tinggal di Kudus dan bekerja di PT Djarum sebagai Direktur Produksi. Salah satu puisinya :


Matahari Miring Di 5 April 2005
(mementomori: be tjien siong
via mutatur non tulitur
hidup itu diubah, bukan dilenyapkan)

ketika matahari miring di wajahnya
sekuntum flamboyant, jatuh
di wajahnya yang hilang dan
seekor kumbang, mengusapkan serbuk bunga
di keningnya yang biru
seolah bermimpi terdengar lembut sekali:
langkah-langkah yang ringan, gemericik senyum
kata-kata cinta, guratan neka suara yang
diterpa angin – jauh
bersamanya
jam yang telah ditetapkan
bumi yang dulu melahirkannya
menatih lingkaran sempurna
di akhir bayang-bayang yang
penuh bermuatan bunga
di atas matahari

Sosiawan Leak


Sosiawan Leak

(Solo)

Lahir di Solo, 23 September 1967. Mermpungkan studi di Fisip Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) tahun 1994. Menulis puisi sekjak 1987 dipublikasikan antara lain : di Surabaya Post, Solo Post, Suara Merdeka, Wawasan,Bernas dan Minggu Pagi, Pikiran Rakyat, Republika, Horison, Deutsce Welle (Radio Jerman), dan lain-lain. Lebih dari 20 antologi puisi yang diterbitkan berbagai forum sastra lokal maupun nasional memuat puisinya bersama penyair lain. Diantaranya Panorama Dunia Keranda (1991), Temu Penyair Jawa Tengah (1993), Pekan Seni Pemuda Surabaya (1993), Festivel Puisi Nasional XIV (Perhimpunan Persabahatan Indonesia Amerika, (1994)Sastra Kepulauan (1999), dan lain-lain. Pernah diundang di Festival Puisi International Indonesia yang diselenggarakan di Makasar, Solo, Bandung (2003) dan di Festival Puisi International Poetry on The Road Bremen Jerman. Merintis dan memotori penerbitan Antologo Puisi Kepodang (1993), Temu Penyair Jawa Tengah (1993), Pasar Puisi (1998), Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia (1995). Mendirikan Forum Sastra Surakarta Sejak 2004 mulai belajar sinematografi dengan menjadi Astrada Sinetron Komedi Putar produksi TVRI Jakarta. Kini akti f memproduksi program tv (Surakarta Wayang Kampung, Gus Mus Menjawab) yang di tayangkan rutin di Stasiun Pro TV Semarang. Salah satu puisinya :

Pangeran Kecemasan

pesanggrahan hati yang ragu kujanjikan kepadamu
tak sebanding dengan kenangan indah masa lalumu
pesanggrahan tanpa bilik dan kamar
gelap dan pengap
tanpa jendela, pagar apalagi taman bunga
disumpegi computer dan printer tua
dijubeli buku-buku berdebu,
serakan kertas-kertas (puisi-puisi yang gagal menyempurna)
juga hasrat dari kesejatian cinta
yang kerap musna dilahap cicak, dijilati kacoa
usai menyelinapi dinding kamar
di antara ranjang berpasir,
bantal guling yang anyir
serta pakaian dalam yang dicampakkan isinya
sementara, lebih gampang bagimu
mengunjungi kenangan liar manismu
(bersama pangeran-pangeranmu)
lewat email, sms, catatan buku
photo-photo, lamunan, juga orgasmemu
saat kita senggama di ranjang, toilet, dapur, lantai, ruang tamu,
juga ruang makan,
dan halaman belakang di ujung malam
saat itu, selalu kau bisikkan rindu
di kuping kiriku yang pekak lantaran cemburu
lalu para pangeranmu yang dulu datang bergantian
kini berloncatan dari telinga kanan
menjelma serombongan nabi
yang menembangkan ayat-ayat suci
bagai butiran air mengkristal indah
di pantai (yang pernah kau singgahi)
saat udara pagi dialiri angin dan matahari
bersama senyuman pangeranmu !
mereka juga menyenandungkan doa-doa mesra
mekarkan hatimu, bagai kembang abadi di pegunungan
(yang lunas kau tamasyai)
mereka juga menyanyikan keindahan istana
yang urung kau kunjujngi
dan kini menjelma sesal abadi
menguntit matahatimu ke mana pergi
; juga saat persenggamaan kita
yang berkali-kali tak kunjung usai tak juga henti
untuk menepi sekedar mengusir sepi !
tapi tunggu !
ada seorang pangeranmu berparas ganteng
berperawakan ganjen
meski hatinya bengis, berwatak sadis
ia mampu menelusuri ke segala,
bahkan ke hampa tanpa kentara
menanam bom, menyebar peluru
memasak arsenit di perutmu
tapi tunggu !
di mataku ia tetap pangeranmu, di matahatimu
bagai masa lalumu yang dikawalnya selalu semaumu
pesanggrahan hati yang ragu kujanjikan padamu
tak sebanding dengan kenangan indah masa lalumu
pesanggrahan ringkih, gersang
dan gampang diterjang impian kehadiran para pangeran
yang masih saja kau bebaskan
berkeliaran
dimatahatimu !
mereka mengintip dari jutaan lubang; malih rupa kecemasan
mengincar waktu kedatangan
untuk menerobos dinding pesanggrahan
yang ringkih dan gersang !

5 mei 2005