Terima Kasih Anda Telah Berkunjung Ke Kawasan Penyair Jawa Tengah

Kamis, 11 Oktober 2007

Yudhi MS



(Kudus)

Lahir pada 17 Juni 1954. Selain menulis sajak, penyair yang pernah mengasuh acara Ladang Sastra di Radio Muria Kudus pada 1983-2000 juga menulis cerpen, artikel, dan geguritan (puisi Jawa). Karyanya dimuat di berbagai media massa antara lain Sinar Harapan,Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, Bernas, Wawasan, Kumandang, Panjebar Semangat, Senang, Midi, Anita Cemerlang. Sebagai pengurus Dewan Kesenian Kudus sejak 2004. Tahun 1991 bersama Mukti Sutarman Espe, M.M. Bhoernomo, dan penulis lainnya mendirikan komunitas Keluarga Penulis Kudus (KPK), sebagai ketua periode pertama (1991-1994). Kumpulan sajaknya Matabunga (1999), Selain itu, antologi Menara (1993), Antologi Puisi Jawa Tengah (1994), Progo (1995), Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), Lawang Sewoe (1996), Angin Ladang (1996), Menara 2 (1997), Zamrud Khatulistiwa (1998), Jentera Terkasa (1998), Pabrik (1998), Menara 3 (1999), Masih Ada Menara (2004), Mahaduka Aceh (2005). Salah satu puisinya :

Debu-asap Di Kurusetra
(1)
debu belum benar sirna
kepul aspal masih bersisa
dan udara kehilangan warna

dan engkau kehilangan sesuatu yang paling berharga
dan engkau kehilangan sesuatu yang paling bermakna
Duryudana,
pada air telaga kau berendam, dapatkah gerah teredam?
andai badai menerjang, yakinkah reranting kering
kuat bertahan?
apa lagikah yang akan kauraih-pegang?
helaan nafas itu, sesal ataukah sengal, mempertegas
kebimbangan yang mengekal, sejak prosesi penobatan itu,
dalam urat darahmu
o, rambut harus dibelah-belah untuk memisahkan tekad
dan takut
o, kilat harus dipatah-patah untuk membedakan kalem
dan kalut
pada bau angit meniti langit kaulepas zirah prajurit
pada amis darah mengaliri lembah kaulempar jiwa ksatria
pada angin mati dicekik sepi kautitipkan mahkota kekerdilan
; untuk yang pertama, untuk yang pertama, kau merasa
betapa pahit mengulum buah kesia-siaan
bagi arwah para leluhur, guru, dan kerabat, yang matanya
berkaca-kaca, “terlalu jauh hasrat kembara,” airmata pun
sanggup kaubendung
bagi arwah saudara, perwira, dan balatentara, yang matanya
bertanya-tanya, “masih kurang banyakkah tombak bicara?”
ngeri pun kautelikung
bagi arwah rakyat jelata yang pada setiap peperangan selalu jadi
korban, yang matanya pudar cahaya, “terlalu nyeri jiwa yang
luka,” tak membuatmu limbung
; tapi tak mungkin kauingkari kali ini – baru kali ini, bukan? –
ketika bersendiri, seperti ketika bulan diremuk awan,
betapa teramat sepi tertikam sebuah kekalahan
lantas, kepada siapa telunjukmu menuding ketika burung-burung
nazar melintas-lintas di atas Kurusetra yang garing
seakan musim dipergegas menjemput dedaun ranggas,
mewartakan para janda dan anak-anaknya berpelukan
memerah airmata berkepanjangan?
selalu kuberi ingat dalam lembut bisikan
akan luas akibat ketamakan kekuasaan
tapi selalu kautentang
tapi selalu kautendang

(2)
kaularung segala tumpahan batin
pada sungai kenangan yang mengalir ke pantai dendam
memuara pada laut kelam – atau benderang, tapi taklagi berani
kausebutkan – yang membawamu kembali ke masa silam,
masa silam saat bulan bercadar dan bintang tak beredar
dan – seperti yang pernah dikabarkan – serigala-serigala
melolong-lolong, suaranya menggentarkan semua tingkap
pun pilar puri remang Hastinapura
dan suara itu kini memerihparahkan rongga dadamu
menopang kelopak matamu, memampangkan saat-saat Bunda
Gendari dengan gemas menendang segumpal darah-daging
yang lahir dari rahim sendiri. berkeping-keping.
ditangisi rerumput taman sari,
menjelma seratus bayi
seratus bayi Kurawa, diperam dalam panggang kedengkian
dan dijunjung pada panggung kecemburuan oleh tangan
Patih Sengkuni. pamanmu itu tak menuntun kalian
menyusuri lembah keprihatian, lembah istirah bagi jiwa
berserah, atau memandang dengan mata batin
pada akar merambah dalam tanah dan pada ranting
mencakar ke udara
sedang Bunda Gendari menyembunyikan air susunya
menenggelamkan jiwa dalam samudera kekecewaan,
menjerang sukma pada bara kebencian. secabik selendang
menutup penglihatan mendampingi suami sang Dhestarastra,
ayahandamu yang cacat netra
tak ingin kurang dari yang diingin
bergelimang emas cemerlang engkau dan adik-adikmu
alpa mengeja bintang-bintang yang bersembunyi di hari siang
tapi pedih membayangbuntuti, ada satu hal tak terpenuhi
dan gagal kaucari

(3)
ku dengar juga suara itu
bisikan yang sangat kukenal dan sering kusangkal
datang dari negeri jauh, menjelma jarum-jarum meluruh
begitu kubenci karena selalu melukai wajahku sendiri
wajah berlumur lumpur yang selalu kucari
di medan tempur
betapa menjadi suram wajah ini
manakala melati menyebar aroma suci melenakan Pandawa
dalam rengkuhan cinta jemari Bibi Kunti
dan warna tembaga pun membarakan angsoka menyimpulkan
senyum kepada Arjuna serta saudara-saudaranya
ketika lulus pendadaran, diiring kata-kata berbunga
dirangkaikan Bapa Guru Drona
dan semilir angin menarikan daun-daun nagasari
menyongsong Bima dan saudara-saudaranya yang masih bisa
lolos dari perangkap api yang menghanguskan Balai Sigalagala
dan seroja-seroja memamerkan kelopak-kelopaknya
menghiasi telaga menyambut Yudistira melaksanakan
Sesaji Raja Suya, aswamedayajna, dalam waktu
tak berapa lama setelah naik tahta
di Indraprasta
dan mengapa kembang gading mengirimkan harumnya
untuk kelapangan Nakula-Sadewa beserta
abang-abangnya yang dua belas tahun mendekam
di dalam rimba raya Kamiaka
dan mengapa pula kemuning bermekaran bersuka
atas keselamatan kelima anak Paman Pandu Dewanata
dalam penyamaran sebagai hamba di Wirata

(4)
kau lupa sungai Jamuna tak henti mengalirkan airnya
kau tak hirau lereng Kelasa masih menyinarkan semburat hijau
kau tak mau tahu puncak Himalaya senantiasa melelehkan salju
; maka mana mungkin semua akan menghilir, meneduh,
dan membekukan nafsu angkaramu?
burung-burung enggan mengucap salam
meski mahkota itu lebih cepat pada kepalamu dikenakan
dan renda-renda mimpimu terkoyak oleh cakar-cakir anjing
menyalak, anjing yang kaucipta dalam khayal busuk,
meski Pandawa tak pandai mengutuk
; bukankah selalu kautempelak
jika sekali waktu kauingatkan soal hak?
wahai, suaramukah itu
yang bisiknya merebakkan kebimbanganku dan memadamkan
lentera pada wajahku yang menyenja
wajah yang menjelaga turun ke dada
dan betapa dahsyat gemuruhnya
ya, betapa dahsyat nadi mendidih bergejolak gemuruh
dalam perang besar ini mereka berdiri angkuh, kukuh dan utuh
sementara tak lagi kusua Dursasana, Durmagati, Citraksa,
Citraksi, beserta adik-adik tercinta. Bapa Drona, Paman Patih,
Senapati Karna, Bapa Prabu Salya, dan Eyang Bisma semuanya
pralaya
dan hari-hari pun tinggal bayang manakala aku pun kehilangan
anak tungalku Lesmana, curahan
segala damba

(5)
korban berjatuhan dari semua pihak seakan biji asam berserak
di pingir-pinggir jalan. nyawa yang terlepas seakan uap
melayang tak berbekas. darah bersimbah seakan arak muncrat
bagi arwah para leluhur, guru, dan kerabat, yang matanya
berkaca-kaca, “terlalu jauh hasrat kembara,” airmata pun
sanggup kaubendung
bagi arwah saudara, perwira, dan balatentara, yang matanya
bertanya-tanya, “masih kurang banyakkah tombak bicara?”
ngeri pun kautelikung
bagi arwah rakyat jelata yang pada setiap peperangan selalu jadi
korban, yang matanya pudar cahaya, “terlalu nyeri jiwa yang
luka,” tak membuatmu limbung
; tapi tak mungkin kauingkari kali ini – baru kali ini, bukan? –
ketika bersendiri, seperti ketika bulan diremuk awan,
betapa teramat sepi tertikam sebuah kekalahan
lantas, kepada siapa telunjukmu menuding ketika burung-burung
nazar melintas-lintas di atas Kurusetra yang garing
seakan musim dipergegas menjemput dedaun ranggas,
mewartakan para janda dan anak-anaknya berpelukan
memerah airmata berkepanjangan?
selalu kuberi ingat dalam lembut bisikan
akan luas akibat ketamakan kekuasaan
tapi selalu kautentang
tapi selalu kautendang
dari piala yang pecah. bagimu hanya tumbal tak berarti,
beribu pembenaran kausodorkan demi pelampiasan
nafsu tak terkendali
Duryudana, belum cukupkah sudah?
masih akankah memburu angin, menggapai gugus mega,
berlomba dengan bayang-bayang?
segeralah bangkit, akhiri berendam pada air mengarus diam
lihatlah Pandawa diiring Sri Kresna telah menemukanmu,
datang untuk menutup kitab kelaliman-kekelaman
usaikan dengan gagah kepergian tak terimpikan
meski tanpa kidung dan kembang berluruhan
usah gemetar bila kau sadar betapa Prabu Dwaraka tahu
Sang Drona harus dilumpuhkan oleh Drestajumna,
Sang Dipayana harus dihadapi Srikandi; tentu iapun mafhum
akan sebuah kelemahan di paha kiri
biarkan debu segera sirna
kepul asap akan lenyap tak bersisa
dan kebiruan membentang di atas
cakrawala

Kudus, 2001

Tidak ada komentar: